Thursday 9 May 2013

CERPEN - Belajar Melepaskan.



Semuanya terjadi tanpa di rencanakan. Dimulai dari percakapan singkat antara dua orang –  aku, dan Aldi.
          “Nanti lo kuliah, mau ambil jurusan musik ya?” tanyaku, lewat aplikasi pesan singkat – BBM.
          “Nggak lah Chel, gue ambil jurusan yang lain. Tapi, main musik tetep jadi hobi gue.” balasnya.
          Oh iya, aku lupa mengenalkan diri. Namaku Rachel Margaretha, biasanya dipanggil Rachel. Minggu pagi ini, aku – seperti biasa – tiduran di kamar, sambil memegang ponsel serta membuka laptop. Aku adalah siswi salah satu SMA swasta di Jakarta. Aku duduk di kelas X, tepatnya di X5.
          Pagi ini, kebetulan aku sedang berkirim pesan singkat lewat BBM; dengan seorang temanku yang bernama Aldi. Aku penasaran, apakah Aldi mau masuk jurusan musik nanti setelah kuliah? Kenapa tiba-tiba aku bisa berpikiran seperti ini? Karena ia memiliki kemampuan bernyanyi yang bagus. Suaranya amat merdu, dan ia juga pandai bermain alat musik. Yah, setidaknya, ia berusaha belajar memainkan alat musik itu.
          “Oh, gue kira lo mau masuk jurusan musik.” sahutku singkat.
          “Hahaha, nggak lah. Tapi sekarang gue lagi punya accoustic project nih.”
          “Ohya? Hebat dong! Eh, gue mau ikutan boleh gak?” tanyaku, hanya bercanda. Namun, reaksi yang diberikan Aldi sangat mengejutkan.
          “Boleh, coba dulu aja nyanyi, cover lagu apa kek gitu.” sahut Aldi, datar.
          Aku memberanikan diri, dan memilih untuk menyanyikan lagu Perahu Kertas yang dinyanyikan oleh Maudy Ayunda. Aku merekamnya melalui voice note, dan segera mengirimnya ke Aldi.
          “Bagus Chel suara lo. Ikut aja sama accoustic project gue.”
          “Serius? YES! Okee, anggotanya cowok semua atau cewek cowok?”
          “Cewek cowok kok.” balasnya singkat.
          “YES! Oke. Anggotanya siapa aja?” tanyaku, terlalu bersemangat.
           “Gue sebagai vokalis, Adi sebagai cajoon player, Dias sebagai bassist, Richard dan Marsha sebagai gitaris.” Tanpa sadar, aku menghembuskan napas lega. Karena, aku mengira manusia bernama “Marsha” ini adalah perempuan, sama seperti aku.
          Aku memberanikan diri bertanya. “Eh, bagi pin mereka dong.”
          “Nih, gue kasih pinnya.” Lalu, Aldi pun memberikan pin bb Marsha dan Dias kepadaku.
          Aku meng-invite pin bb mereka, dan mereka segera meng-accept request-ku. Aku penasaran, seperti apa sih wajah mereka? Aku membuka foto yang mereka tampilkan di profile BBM mereka. Lalu aku terkaget.
          Loh, Marsha itu cowok?’ pikirku. Lalu, aku segera bertanya kepada Aldi.
          “Woi Di, Marsha itu cewek atau cowok?” tanyaku langsung ke intinya.
          “Cowok lah-_-“ sahut Aldi.
          “Terus ceweknya siapa?”
          “Ya elu lah.” ASTAGA ALDI.
          “Yaampun……” sahutku. Aku terkejut, berarti, aku adalah perempuan satu-satunya dalam band ini? Aku mengirim pesan pada Marsha, dengan bermodalkan ‘hai’. Dan, disinilah awal percakapan kami. Serta awal dari cerita ini.
          “Hai, gue Rachel, temennya Aldi. Salam kenal yaJ” aku memandang sebentar pesan yang ku tulis di aplikasi pesan singkat itu – dan memencet enter untuk mengirimkannya. Tak berapa lama, Marsha membalas BBM-ku.
          “Hai juga, gue Marsha, salam kenalJ” katanya. Dari pesan sesingkat itupun, aku langsung tahu, dia orang yang baik.
          Kami berkirim pesan cukup lama, tak menyadari jarum jam terus berputar. Dan waktu sudah menunjukkan pukul 01.47.
          “Lo gak tidur? Besok sekolah kan?”
          “ASTAGA. Iya gue besok sekolah. Lo juga kan? Jangan tidur malem-malem coy” kataku sambil bercanda dan bersiap-siap tidur.
          “Gue udah lulus, gue tiga tahun di atas Aldi.” sahut Marsha.
          Aku menatap layar ponselku selama beberapa detik, dan baru menyadari apa maksud dari isi pesan itu. HAH?! Batinku, terkaget.
          “Lo… Tiga tahun lebih tua daripada Aldi?! GUE HARUSNYA PANGGIL LO KAK.” Kukirim pesan itu.
          “Woles aja kali sama gue, Aldi juga panggil gue Marsha.”
          “GABISA. Mulai sekarang gue akan panggil lo kak. Eh gue tidur dulu yaa.”
          “Iya. Goodnight(:” Balasnya. Pesan itu, mengakhiri percakapan kami hari itu.
          Keesokan harinya, dan juga seterusnya, kami hanya berkirim pesan jika ada hubungannya dengan band yang baru saja kami bentuk bersama-sama. Suatu hari, ia mengirimiku pesan.
          “Chel, Sabtu ini gue sama Aldi bisa ke rumah lo gak? Kita coba ngumpul aja dulu. Rumah lo dimana?”
          “Bisa kok, rumah gue di cawang. Kalian susah nanti cari alamatnya-_- gini deh, lo tau gereja Antonius kan? Kalian kesana aja, nanti kalo udah deket kasih tau gue. gue jemput kalian nanti, terus kita sama-sama naik angkot ya.”
          “Gue sama Aldi bawa gitar, Chel.”
          “Ya gapapa, emang kenapa? Malu? Yaudah gak usah.” balasku. Tak berniat ketus, namun dikira ketus.
          “Iya deh iya, okee sampai ketemu Sabtu ya(:” kata Kak Marsha, mengakhiri percakapan kami.
          Hari Sabtu. Sekarang pukul 10, dan aku telah menunggu mereka di halaman gereja. Kemana nih manusia dua, kok gak dateng-dateng. batinku.
          Setengah 11, dan akhirnya mereka muncul membawa dua gitar. Aldi duduk di belakang, berarti yang mengendarai motor itu Kak Marsha.
          Aldi, aku sudah pernah bertemu, jadi aku tidak usah menggambarkan rupa dan seperti apa orangnya. Kak Marsha, dia tinggi, rambutnya cepak berantakan, alisnya tebal, matanya bulat dan berwarna cokelat kehitaman, pipinya gendut, dan dia berpenampilan sangat santai. Kesan pertama, cukup bagus.
          Aku segera mengajak mereka ke rumah, dan kami berbincang-bincang, bernyanyi, namun aku masih takut-takut mengeluarkan suara. Sampai akhinya jam 2, mereka memilih untuk pulang, karena Aldi ada tugas di gerejanya.
          Malamnya, aku mengirim pesan singkat pada Aldi dan Kak Marsha. Aku mengucapkan terimakasih, mereka mau jauh-jauh ke rumahku, padahal rumah mereka di Bekasi. Sejak pertemuan kami bertiga, entah mengapa aku dan Kak Marsha semakin dekat.
          Kami berkirim pesan singkat lewat BBM, lalu terkadang kak Marsha mengirim suara dia yang sedang bernyanyi dan bermain gitar. Saat mendengar suaranya, entah mengapa, hatiku berdesir. Hatiku bagai tersetrum listrik berkekuatan rendah, namun anehnya, geli, bukan sakit. Lalu, tanpa ku sadari, sebenarnya aku telah sayang padanya.
          Hari demi hari terus berjalan. Kami menjalani hari-hari seperti biasa, menjalani kehidupan masing-masing. Namun pesan-pesan yang dia kirimkan kepadaku, entah mengapa membuat hariku terasa lebih spesial.
          Rasanya, setiap kali ia mengirimkan pesan singkat yang berisikan perhatian, kebaikan dan kejahilannya kepadaku, aku seperti memiliki sayap, dan diterbangkan ke awan harapan.
          Namun, rasanya ada hal yang mengganjal. Aku selalu bertanya-tanya, apakah dia memiliki perasaan yang sama selayaknya aku memiliki perasaan terhadapnya? Ataukah, hanya aku yang memiliki perasaan ini? Atas dasar penasaran dan iseng, aku bertanya padanya: “Eh, kalo gue suka sama lo gimana?”
          “Gapapa kok, kalo lo suka atau sayang sama gue, hati mana ada yang tau, Chel. Tapi kalo misalnya orang itu sayang sama orang lain, lo gak boleh kecewa. Anggap aja suka dan sayang itu seperti harapan dan mimpi. Kalau harapan atau mimipi itu gak tercapai, lo gak boleh kecewa. Karena gak semua kenyataan sesuai sama yang lo pengenin.”
          Aku kehabisan kata-kata. Lalu, tanpa sadar, aku mengirim pesan ini: “Gue sayang lo, bego.” Hhh, habislah sudah. Tanpa sengaja. Aku tak bermaksud untuk mengirim pesan seperti itu. Namun, balasan yang dikirim olehnya, lebih membuatku terkejut.
          “Gue juga sayang sama lo, sebagai adek gue.”
          Kaget. Kaget. Kaget. Bahkan, kusebutkan kaget tiga kalipun belum cukup untuk menggambarkan perasaanku. Aku sadar, bahwa perasaanku tak terbalas. Dan kesalahanku terletak disini. Aku tetap berharap.
          Kami menjalani hari-hari seperti biasa. Berkirim pesan, berkirim voice note, dan seterusnya. Pada satu hari, aku membuka twitter dan melihat kak Marsha berbincang dengan seseorang bernama Fani. Entah mengapa, aku tak suka. Karena, aku merasa Fani suka kak Marsha. Ternyata, benar perkataanku. Fani dan aku berkenalan, dan akhirnya kami menjadi dekat. Fani bercerita kepadaku, bahwa ia suka dan sayang pada kak Marsha. Tetapi, Fani jauh di Bali sana dan kak Marsha di Jakarta, disini, bersamaku.
           "Kamu gak benar-benar punya perasaan itu kan? Itu semua, cuma bohong, kan?" Kalimat itu yang keluar dari mulut kak Marsha, saat ia mengetahui perasaanku.
          Ya, aku memang memberanikan diri berkata kepadanya mengenai perasaanku ini. Maksudku, sambil bercanda. Aku tak sanggup jika harus terus menahan dan menahan.
          Aku tersenyum pedih sambil menatap layar ponselku. Mungkin, memang dia hanya menganggap aku adiknya. Mungkin, memang kesalahanku terletak pada berharap.
          “IYA LAH BOONG. Menurut lo aje ye, gue naksir sama lo. Iiiih~ Lo kan udah punya Fani,” balasku via BBM.
          “Bagus deh, soalnya gue sayang sama lo sebagai adek gue, Chel”
          Tanpa terasa, sebutir air mata menetes.
          Aku tahu, dia peka. Aku tahu, dia merasakan tatapanku yang menatap tepat dimatanya. Aku bukannya terlalu berani mengungkapkan, tapi memang aku bukan tipe yang bisa memendam perasaan. Ah, biarlah. Biarkan aku dengan perasaanku, dan biarkan dia dengan pikirannya dan kepekaan hatinya. Biarkan dia dengan Fani, dan aku dengan diriku. Hubungan kami kini, hanya sebatas kakak dan adik, dan juga anggota band yang sama.
          Kesalahanku memang terletak pada “berharap” dan tetap menunggu jika suatu saat nanti dia mungkin bisa sayang padaku lebih dari kakak ke adiknya. Mungkin, memang tak setiap pertemuan harus di satukan. Karena, jika takdir siap mempertemukan, takdir juga siap memisahkan. Dan aku, akan belajar melepaskan.
Menunggu selalu ada di setiap cerita. Yang tidak bisa kamu prediksikan, adalah akhir dari cerita itu. Terkadang, akhir ceritanya tak selalu sesuai dengan yang kamu harapkan. Tak semua cerita berakhir bahagia. Aku dan kamu, misalnya.
Aku dipertemukan denganmu, tanpa kesengajaan. Tanpa kusangka, tanpa di duga. Seiring jarum jam yang terus berputar,Aku dan kamu semakin dekat. "Kita."Aku berani mengganti 'aku' dan 'kamu' menjadi "kita", karena tanpa ku tebak, ternyata muncul sebuah perasaan yang dinamakan 'cinta'.
Secercah cahaya yang dinamakan 'harapan' mulai tumbuh dalam hatiku. Sedikit, demi sedikit. Perhatianmu, dan canda tawamu, semua itu membuatku terbuai. Membuatku terbang ke awan harapan, bukan lagi tanah realita.
Namun, ketika cahaya itu telah menyala terang, kamu, berkata bahwa perasaanmu tak lebih dari seorang kakak ke adik.Tetapi aku tetap menunggumu. Apakah aku menunggu sesuatu yang pasti?
          Suatu hari, kamu memperjelas perasaanmu.Entah mengapa, sepertinya sayapku patah. Sayap yang membawaku terbang ke awan harapan. Dan seketika, aku terjatuh. Terjatuh ke tanah realita.
Mataku mulai melihat, bahwa harapan itu kosong. Realita ini telah mengembalikanku ke alam sadar. Harapan yang selama ini ku impikan, ternyata adalah hal yang transparan, dan tak bisa ku raih.
Cahaya yang ada di hatiku, perlahan mulai meredup.Redup, redup, dan semakin redup. Cahaya itu semakin mengecil, tak sanggup menghadapi tanah realita sendirian.
Lihat?Tak semua cerita berakhir bahagia.Tak semua cerita bisa berakhir sesuai harapanmu. Tak semua cerita bisa menyatukan 'aku'; dan 'kamu' menjadi "KITA".

No comments:

Post a Comment