Semuanya
terjadi tanpa di rencanakan. Dimulai dari percakapan singkat antara dua orang
– aku, dan Aldi.
∞
“Nanti lo kuliah, mau ambil jurusan
musik ya?” tanyaku, lewat aplikasi pesan singkat – BBM.
“Nggak lah Chel, gue ambil jurusan yang
lain. Tapi, main musik tetep jadi hobi gue.” balasnya.
Oh iya, aku lupa mengenalkan diri.
Namaku Rachel Margaretha, biasanya dipanggil Rachel. Minggu pagi ini, aku –
seperti biasa – tiduran di kamar, sambil memegang ponsel serta membuka laptop.
Aku adalah siswi salah satu SMA swasta di Jakarta. Aku duduk di kelas X,
tepatnya di X5.
Pagi ini, kebetulan aku sedang
berkirim pesan singkat lewat BBM; dengan seorang temanku yang bernama Aldi. Aku
penasaran, apakah Aldi mau masuk jurusan musik nanti setelah kuliah? Kenapa
tiba-tiba aku bisa berpikiran seperti ini? Karena ia memiliki kemampuan
bernyanyi yang bagus. Suaranya amat merdu, dan ia juga pandai bermain alat
musik. Yah, setidaknya, ia berusaha belajar memainkan alat musik itu.
“Oh, gue kira lo mau masuk jurusan
musik.” sahutku singkat.
“Hahaha, nggak lah. Tapi sekarang gue
lagi punya accoustic project nih.”
“Ohya? Hebat dong! Eh, gue mau ikutan
boleh gak?” tanyaku, hanya bercanda. Namun, reaksi yang diberikan Aldi sangat
mengejutkan.
“Boleh, coba dulu aja nyanyi, cover
lagu apa kek gitu.” sahut Aldi, datar.
Aku memberanikan diri, dan memilih
untuk menyanyikan lagu Perahu Kertas yang dinyanyikan oleh Maudy Ayunda. Aku
merekamnya melalui voice note, dan
segera mengirimnya ke Aldi.
“Bagus Chel suara lo. Ikut aja sama
accoustic project gue.”
“Serius? YES! Okee, anggotanya cowok
semua atau cewek cowok?”
“Cewek cowok kok.” balasnya singkat.
“YES! Oke. Anggotanya siapa aja?”
tanyaku, terlalu bersemangat.
“Gue sebagai vokalis, Adi sebagai cajoon player, Dias sebagai bassist, Richard dan Marsha sebagai
gitaris.” Tanpa sadar, aku menghembuskan napas lega. Karena, aku mengira
manusia bernama “Marsha” ini adalah perempuan, sama seperti aku.
Aku memberanikan diri bertanya. “Eh,
bagi pin mereka dong.”
“Nih, gue kasih pinnya.” Lalu, Aldi
pun memberikan pin bb Marsha dan Dias kepadaku.
Aku meng-invite pin bb mereka, dan mereka segera meng-accept request-ku. Aku penasaran, seperti apa sih wajah mereka? Aku
membuka foto yang mereka tampilkan di profile
BBM mereka. Lalu aku terkaget.
‘Loh,
Marsha itu cowok?’ pikirku. Lalu, aku segera bertanya kepada Aldi.
“Woi Di, Marsha itu cewek atau cowok?”
tanyaku langsung ke intinya.
“Cowok lah-_-“ sahut Aldi.
“Terus ceweknya siapa?”
“Ya elu lah.” ASTAGA ALDI.
“Yaampun……” sahutku. Aku terkejut,
berarti, aku adalah perempuan satu-satunya dalam band ini? Aku mengirim pesan
pada Marsha, dengan bermodalkan ‘hai’. Dan, disinilah awal percakapan kami. Serta
awal dari cerita ini.
∞
“Hai, gue Rachel, temennya Aldi. Salam
kenal yaJ” aku memandang sebentar pesan yang
ku tulis di aplikasi pesan singkat itu – dan memencet enter untuk
mengirimkannya. Tak berapa lama, Marsha membalas BBM-ku.
“Hai juga, gue Marsha, salam kenalJ” katanya. Dari pesan sesingkat
itupun, aku langsung tahu, dia orang yang baik.
Kami berkirim pesan cukup lama, tak
menyadari jarum jam terus berputar. Dan waktu sudah menunjukkan pukul 01.47.
“Lo gak tidur? Besok sekolah kan?”
“ASTAGA. Iya gue besok sekolah. Lo
juga kan? Jangan tidur malem-malem coy” kataku sambil bercanda dan bersiap-siap
tidur.
“Gue udah lulus, gue tiga tahun di
atas Aldi.” sahut Marsha.
Aku menatap layar ponselku selama
beberapa detik, dan baru menyadari apa maksud dari isi pesan itu. HAH?! Batinku, terkaget.
“Lo… Tiga tahun lebih tua daripada
Aldi?! GUE HARUSNYA PANGGIL LO KAK.” Kukirim pesan itu.
“Woles aja kali sama gue, Aldi juga
panggil gue Marsha.”
“GABISA. Mulai sekarang gue akan
panggil lo kak. Eh gue tidur dulu yaa.”
“Iya. Goodnight(:” Balasnya. Pesan
itu, mengakhiri percakapan kami hari itu.
Keesokan harinya, dan juga seterusnya,
kami hanya berkirim pesan jika ada hubungannya dengan band yang baru saja kami bentuk bersama-sama. Suatu hari, ia
mengirimiku pesan.
“Chel, Sabtu ini gue sama Aldi bisa ke
rumah lo gak? Kita coba ngumpul aja dulu. Rumah lo dimana?”
“Bisa kok, rumah gue di cawang. Kalian
susah nanti cari alamatnya-_- gini deh, lo tau gereja Antonius kan? Kalian
kesana aja, nanti kalo udah deket kasih tau gue. gue jemput kalian nanti, terus
kita sama-sama naik angkot ya.”
“Gue sama Aldi bawa gitar, Chel.”
“Ya gapapa, emang kenapa? Malu? Yaudah
gak usah.” balasku. Tak berniat ketus, namun dikira ketus.
“Iya deh iya, okee sampai ketemu Sabtu
ya(:” kata Kak Marsha, mengakhiri percakapan kami.
∞
Hari Sabtu. Sekarang pukul 10, dan aku
telah menunggu mereka di halaman gereja. Kemana
nih manusia dua, kok gak dateng-dateng. batinku.
Setengah 11, dan akhirnya mereka
muncul membawa dua gitar. Aldi duduk di belakang, berarti yang mengendarai
motor itu Kak Marsha.
Aldi, aku sudah pernah bertemu, jadi
aku tidak usah menggambarkan rupa dan seperti apa orangnya. Kak Marsha, dia
tinggi, rambutnya cepak berantakan, alisnya tebal, matanya bulat dan berwarna
cokelat kehitaman, pipinya gendut, dan dia berpenampilan sangat santai. Kesan
pertama, cukup bagus.
Aku segera mengajak mereka ke rumah,
dan kami berbincang-bincang, bernyanyi, namun aku masih takut-takut
mengeluarkan suara. Sampai akhinya jam 2, mereka memilih untuk pulang, karena
Aldi ada tugas di gerejanya.
Malamnya, aku mengirim pesan singkat
pada Aldi dan Kak Marsha. Aku mengucapkan terimakasih, mereka mau jauh-jauh ke
rumahku, padahal rumah mereka di Bekasi. Sejak pertemuan kami bertiga, entah
mengapa aku dan Kak Marsha semakin dekat.
Kami berkirim pesan singkat lewat BBM,
lalu terkadang kak Marsha mengirim suara dia yang sedang bernyanyi dan bermain
gitar. Saat mendengar suaranya, entah mengapa, hatiku berdesir. Hatiku bagai
tersetrum listrik berkekuatan rendah, namun anehnya, geli, bukan sakit. Lalu, tanpa
ku sadari, sebenarnya aku telah sayang padanya.
Hari demi hari terus berjalan. Kami
menjalani hari-hari seperti biasa, menjalani kehidupan masing-masing. Namun
pesan-pesan yang dia kirimkan kepadaku, entah mengapa membuat hariku terasa
lebih spesial.
Rasanya, setiap kali ia mengirimkan
pesan singkat yang berisikan perhatian, kebaikan dan kejahilannya kepadaku, aku
seperti memiliki sayap, dan diterbangkan ke awan harapan.
Namun, rasanya ada hal yang
mengganjal. Aku selalu bertanya-tanya, apakah dia memiliki perasaan yang sama
selayaknya aku memiliki perasaan terhadapnya? Ataukah, hanya aku yang memiliki
perasaan ini? Atas dasar penasaran dan iseng, aku bertanya padanya: “Eh, kalo
gue suka sama lo gimana?”
“Gapapa kok, kalo lo suka atau sayang
sama gue, hati mana ada yang tau, Chel. Tapi kalo misalnya orang itu sayang
sama orang lain, lo gak boleh kecewa. Anggap aja suka dan sayang itu seperti
harapan dan mimpi. Kalau harapan atau mimipi itu gak tercapai, lo gak boleh
kecewa. Karena gak semua kenyataan sesuai sama yang lo pengenin.”
Aku kehabisan kata-kata. Lalu, tanpa
sadar, aku mengirim pesan ini: “Gue sayang lo, bego.” Hhh, habislah sudah.
Tanpa sengaja. Aku tak bermaksud untuk mengirim pesan seperti itu. Namun,
balasan yang dikirim olehnya, lebih membuatku terkejut.
“Gue juga sayang sama lo, sebagai adek
gue.”
Kaget. Kaget. Kaget. Bahkan,
kusebutkan kaget tiga kalipun belum cukup untuk menggambarkan perasaanku. Aku
sadar, bahwa perasaanku tak terbalas. Dan kesalahanku terletak disini. Aku
tetap berharap.
∞
Kami menjalani hari-hari seperti
biasa. Berkirim pesan, berkirim voice
note, dan seterusnya. Pada satu hari, aku membuka twitter dan melihat kak Marsha berbincang dengan seseorang bernama
Fani. Entah mengapa, aku tak suka. Karena, aku merasa Fani suka kak Marsha.
Ternyata, benar perkataanku. Fani dan aku berkenalan, dan akhirnya kami menjadi
dekat. Fani bercerita kepadaku, bahwa ia suka dan sayang pada kak Marsha.
Tetapi, Fani jauh di Bali sana dan kak Marsha di Jakarta, disini, bersamaku.
∞
"Kamu gak benar-benar punya perasaan itu
kan? Itu semua, cuma bohong, kan?" Kalimat itu yang keluar dari mulut kak
Marsha, saat ia mengetahui perasaanku.
Ya, aku memang memberanikan diri
berkata kepadanya mengenai perasaanku ini. Maksudku, sambil bercanda. Aku tak
sanggup jika harus terus menahan dan menahan.
Aku tersenyum pedih sambil menatap
layar ponselku. Mungkin, memang dia hanya menganggap aku adiknya. Mungkin,
memang kesalahanku terletak pada berharap.
“IYA LAH BOONG. Menurut lo aje ye, gue
naksir sama lo. Iiiih~ Lo kan udah punya Fani,” balasku via BBM.
“Bagus deh, soalnya gue sayang sama lo
sebagai adek gue, Chel”
Tanpa terasa, sebutir air mata
menetes.
∞
Aku tahu, dia peka. Aku tahu, dia
merasakan tatapanku yang menatap tepat dimatanya. Aku bukannya terlalu berani
mengungkapkan, tapi memang aku bukan tipe yang bisa memendam perasaan. Ah, biarlah. Biarkan aku dengan perasaanku,
dan biarkan dia dengan pikirannya dan kepekaan hatinya. Biarkan dia dengan
Fani, dan aku dengan diriku. Hubungan kami kini, hanya sebatas kakak dan adik,
dan juga anggota band yang sama.
Kesalahanku memang terletak pada “berharap” dan tetap menunggu jika suatu
saat nanti dia mungkin bisa sayang padaku lebih dari kakak ke adiknya. Mungkin,
memang tak setiap pertemuan harus di satukan. Karena, jika takdir siap
mempertemukan, takdir juga siap memisahkan. Dan aku, akan belajar melepaskan.
∞
Menunggu
selalu ada di setiap cerita. Yang tidak bisa kamu prediksikan, adalah akhir
dari cerita itu. Terkadang, akhir ceritanya tak selalu sesuai dengan yang kamu
harapkan. Tak semua cerita berakhir bahagia. Aku dan kamu, misalnya.
Aku
dipertemukan denganmu, tanpa kesengajaan. Tanpa kusangka, tanpa di duga. Seiring
jarum jam yang terus berputar,Aku dan kamu semakin dekat. "Kita."Aku
berani mengganti 'aku' dan 'kamu' menjadi "kita", karena tanpa ku
tebak, ternyata muncul sebuah perasaan yang dinamakan 'cinta'.
Secercah
cahaya yang dinamakan 'harapan' mulai tumbuh dalam hatiku. Sedikit, demi
sedikit. Perhatianmu, dan canda tawamu, semua itu membuatku terbuai. Membuatku
terbang ke awan harapan, bukan lagi tanah realita.
Namun,
ketika cahaya itu telah menyala terang, kamu, berkata bahwa perasaanmu tak lebih
dari seorang kakak ke adik.Tetapi aku tetap menunggumu. Apakah aku menunggu
sesuatu yang pasti?
Suatu hari, kamu memperjelas
perasaanmu.Entah mengapa, sepertinya sayapku patah. Sayap yang membawaku
terbang ke awan harapan. Dan seketika, aku terjatuh. Terjatuh ke tanah realita.
Mataku
mulai melihat, bahwa harapan itu kosong. Realita ini telah mengembalikanku ke
alam sadar. Harapan yang selama ini ku impikan, ternyata adalah hal yang
transparan, dan tak bisa ku raih.
Cahaya
yang ada di hatiku, perlahan mulai meredup.Redup, redup, dan semakin redup. Cahaya
itu semakin mengecil, tak sanggup menghadapi tanah realita sendirian.
Lihat?Tak
semua cerita berakhir bahagia.Tak semua cerita bisa berakhir sesuai harapanmu. Tak
semua cerita bisa menyatukan 'aku'; dan 'kamu' menjadi "KITA".
∞
No comments:
Post a Comment