Apa yang kamu harapkan akan keluar dari mulut seorang
perempuan muda yang sedang jatuh cinta? Kamu tidak akan mendapat apapun selain
kecewa, jika kamu berharap dia akan berkata-kata dengan logika. Alangkah miris
dan pedihnya melihat perempuan itu jatuh cinta dengan luka sebagai kata
sambutannya. Melihat tangis di setiap seret langkahnya; hingga akhirnya dia
tertunduk letih menapaki perjalanannya sendiri.
Perempuan itu putus asa, karena semakin ia melangkah,
semakin jauh pula lelaki itu berlari dan pergi dari rengkuhannya.
Perempuan itu menangis…
Ia teringat seseorang pernah memberikannya secarik kertas
berisi puisi, yang isinya kira-kira begini:
“…
Kita sama-sama tahu bagaimana sakitnya mencintai lalu di
tinggal pergi tanpa penjelasan yang masuk akal.
Lalu, kenapa jera tak pernah membuat pikiranmu cerah?
Kenapa kamu masih mencintai dia tanpa batasan; lagi?
Apakah kamu lupa bagaimana rasanya menangis hingga matamu
sembap − hingga embun pagi yang menyambut hari pun menertawakanmu?
Apakah kamu lupa bagaimana rasanya menatap punggung orang
yang kamu cintai menjauh − sedangkan kamu tak memiliki kekuatan lagi untuk
berlari?
Apakah kamu lupa bagaimana rasanya mematahkan hatimu
sendiri demi kebahagiaan orang yang kamu cintai − meskipun dia tidak mempedulikanmu?
Cinta itu boleh, sayang;
Tapi tak seharusnya cinta itu membutakan matamu dan
menulikan telingamu.
…”