Friday 20 March 2015

Perempuan dan Puisi



Apa yang kamu harapkan akan keluar dari mulut seorang perempuan muda yang sedang jatuh cinta? Kamu tidak akan mendapat apapun selain kecewa, jika kamu berharap dia akan berkata-kata dengan logika. Alangkah miris dan pedihnya melihat perempuan itu jatuh cinta dengan luka sebagai kata sambutannya. Melihat tangis di setiap seret langkahnya; hingga akhirnya dia tertunduk letih menapaki perjalanannya sendiri.


Perempuan itu putus asa, karena semakin ia melangkah, semakin jauh pula lelaki itu berlari dan pergi dari rengkuhannya.


Perempuan itu menangis…


Ia teringat seseorang pernah memberikannya secarik kertas berisi puisi, yang isinya kira-kira begini:


“…

Kita sama-sama tahu bagaimana sakitnya mencintai lalu di tinggal pergi tanpa penjelasan yang masuk akal.

Lalu, kenapa jera tak pernah membuat pikiranmu cerah?

Kenapa kamu masih mencintai dia tanpa batasan; lagi?

Apakah kamu lupa bagaimana rasanya menangis hingga matamu sembap − hingga embun pagi yang menyambut hari pun menertawakanmu?

Apakah kamu lupa bagaimana rasanya menatap punggung orang yang kamu cintai menjauh − sedangkan kamu tak memiliki kekuatan lagi untuk berlari?

Apakah kamu lupa bagaimana rasanya mematahkan hatimu sendiri demi kebahagiaan orang yang kamu cintai − meskipun dia tidak mempedulikanmu?

Cinta itu boleh, sayang;

Tapi tak seharusnya cinta itu membutakan matamu dan menulikan telingamu.

…”