Saturday 1 July 2017

1 Juli 2017

Bodoh.
Terlalu naif.
Terlalu buta.

Belum cukup rasa sakitmu yang lalu?
Kenapa masih mau di tambah lagi?

Lukamu yang kemarin saja masih berdarah;
Lukamu yang kemarin masih menyisakan beberapa rasa yang memilukan.

Kesakitanmu yang kemarin masih membuatmu menangis.
Tangis lalumu,
Yang belum kamu tumpahkan lagi kedalam tulisan-tulisan baru.

Sekarang, kamu memutuskan untuk mematahkan hatimu demi menyelamatkan hati yang dingin.
Kamu memutuskan untuk menjadi buta, walaupun kamu tahu janjinya adalah fana.

Tidakkah kamu jengah merangkai kata-kata yang membuat pembacanya nyeri?Tidakkah kamu sejenak saja, berpikir, mengenai kebahagiaanmu sendiri?


Perasaanmu itu bukan kassa, yang hanya ada untuk membalut luka orang lain.


Kamu juga perlu sembuh.

Mereka yang mencarimu dan menjadi semu perlu belajar.

Belajar untuk mengerti bahwa kamu juga ingin bahagia.

Bahwa kamu bukan hanya tempat persinggahan yang akan menggandeng ke arah perpisahan.

Bahwa kamu juga ingin pulang ke sosok nyata,
Yang seharusnya bisa memelukmu dengan cinta dan kecupan sayang.

Belajar bahwa kamu adalah perempuan dengan perasaan yang utuh.
Perempuan baik, yang juga butuh bahagianya sendiri.

Sunday 6 November 2016

Saya Rindu Kamu

jujur,
saya banyak menangis sejak kamu pergi.
rindu?
ada.
rindu saya ini sudah memuncak,dan tak mampu saya tahan lagi.
saya lelah berjalan diantara derak memori tentang kamu.
setiap saya mencoba melipatnya,
kamu melompat masuk lagi ke pikiran saya.
saya rindu saat kamu menelepon saya tengah malam, karena kamu bilang "rindu".
saya rindu saat kamu memeluk saya...
saya ingin kamu menggenggam tangan saya sekali lagi
lebih erat, bisa?
saya rindu saat kamu mencium kening saya dan bilang;
"hati-hati ya, kalau udah sampai di rumah kabarin."
saya rindu kamu yang menemani saya saat saya mengerjakan semua tugas yang membuat saya kewalahan.
saya rindu menulis kebahagiaan tentang kamu.
saya rindu segala kenangan yang ada kamu nya...
saya harus gimana?

"I just can't find a way to let go of you..."

Wednesday 5 October 2016

6 Oktober 2016

03.30 dini hari.

di sini lah aku berada, lagi.
di kamarku sendiri, duduk termenung menatap kekosongan.
memikirkanmu, lagi.
memikirkan semua pembicaraan kita sesubuhan ini.
bagaimana kamu sangat ragu...
bagaimana kamu takut.

baiknya aku bercerita tentang dia yang pernah mengisi hatiku;
sebelum kamu.

aku selalu takut untuk jatuh cinta lagi
sejak dirinya memutuskan untuk pergi.
dia,
laki-laki yang aku kagumi dulu karena eloknya dia saat sedang bermain di lapangan basket.
aku jatuh cinta padanya,
karena dulu dia begitu baik, dan sabar...
namun itu hanya awal saja.
cintanya ia umbar-umbar lewat kata-kata.
janji-janjinya membuatku terbuai.
pelukannya yang erat sempat membuatku yakin padanya.

akhirnya apa?

dia pergi.
dia memutuskan bahwa aku tidak cukup untuk memuaskan ego nya sendiri.
dia berkata-kata dalam bahasanya sendiri,
bahasa yang membingungkan dan membuat duniaku berputar 360°.
aku begitu yakin akan dirinya...

3 tahun berlalu,
dan kemudian
di tengah semua fvck boys yang ada;
aku bertemu denganmu.

pertemuan singkat yang jika di ingat-ingat lagi,
sebenarnya sangat lucu.
aku tidak tahu siapa kamu,
hanya sekedar nama.
nama yang mulai muncul di notifikasi handphone ku;
nama yang mulai menjadi prioritasku tanpa ku sadari.
nama lelaki yang ku sebut setiap kali aku berbicara.

setelah banyak kejadian memilukan dan membutuhkan tangisan,
akhirnya kita sampai di awal klimaks cerita kita.
ya, kita.
dimana kamu dan aku jatuh cinta;
dan terlalu kalut untuk menyadari bahwa kita masih sama-sama takut.

takut di sakiti, takut menyakiti.
taku di lepas, takut melepas.
takut memikirkan kemungkinan terburuknya.

kita terlalu sering mengucap 'cinta' dengan ketakutan yang masih me-rajalela.
kita masih di jajah oleh resonansi masa lalu...

klimaksnya, sekarang kita harus apa?
haruskah aku membuat jarak?
supaya kita bisa bernafas, dan menyembuhkan hati kita perlahan-lahan.

aku tidak mengerti cara mengakhiri cerita ini.
cerita tentang kita yang masih sama-sama trauma.
mungkinkah kamu punya jawabnya?

Thursday 21 April 2016

Tidak.

Hati yang kucoba rekatkan,
Kini patah lagi dan bagian-bagiannya tak lagi terdeteksi.
Terlalu sakit...
Aku tak sanggup lagi menanggungnya...
Rasanya, menangis pun tidak dapat dijadikan pelarian.
Kesendirian membuat semuanya terasa sepi bagiku.
Hening begitu memilukan hati,
Sehingga sakit rasanya untuk membuka mata saat pagi hari dan mengingat lagi luka yang semakin membuka...

Aku ingin pergi.
Namun, kemana?
Langkahku tanpa arah dan pijakannya semakin goyah.
Harapanku yang dulu membara kini hanya setitik nyata.
Bahkan puisipun tidak mewakilkan.

Sunday 17 April 2016

Pagi, Malam, Sore dan Senja.

Sore selalu menikmati pertemuan sementaranya dengan Senja.
Senja pula, dengan cintanya kepada Malam;
Ia rela dimatikan warnanya oleh sang kegelapan.
Namun, entah mengapa Malam menunggu Pagi.
Dan Pagi selalu menyambut terangnya dengan bahagia,
Tanpa menggubris adanya Malam
Yang rela mengantarkan Pagi, sementara sang gelap harus menunggu lagi.
Menunggu, untuk bertemu lagi dengan sang Pagi.

Demikian, dengan adanya sebuah cerita
Aku berharap bisa setulus Sore, yang selalu menunggu datangnya Senja
Walaupun sementara, namun ada rasa bahagia dan menerima.
Menerima bahwa Senja lebih bahagia ketika ia memuja Malam.
Aku ingin menjadi seperti malam,
Selalu ada untuk menghantarkan Pagi bangun dari gelapnya.
Dan timbul setiap pagi untuk menjadi bahagia sendiri,
Walau Malam harus mati.

Mereka menorehkan cerita yang berbeda.
Mengenai bahagia dan kesakitan.
Sedih, namun melepaskan.
Dan kuharap begitu juga yang sama
Terjadi padamu.
Semoga kamu bahagia dengan pilihanmu,
Karena sekarang, walaupun rasanya perih;
Aku merelakanmu.

Sunday 1 November 2015

Cerita Anak Jalanan

Tangan-tangan mungil itu mengusap keringat yang membanjiri dahi mereka.
Siang itu, matahari bersinar begitu terik.
Seolah tidak peduli siapa yang merasakan panasnya.
Anak-anak jalanan itu menatap langit, seperti ingin berkata:
"Mengapa terikmu harus menambah derita kami?"

Setiap sudut jalan yang kulirik begitu ramai.
Ramai dengan adanya suara pengamen kecil,
Ramai dengan tangan-tangan kecil yang menjajakan koran dan minuman.
Mereka yang sosoknya samar di belakang kaca mobil,
Hanya tega menatap sinis.
Menatap jijik ke arah anak-anak kecil tak berdosa itu.

Mereka mengacungkan jari mereka dari balik kaca mobil, seraya menertawakan anak jalanan.
Padahal, makhluk kecil itu hanya berjuang untuk mendapatkan uang yang tidak seberapa
Untuk makan bersama keluarga mereka malam nanti.
Mereka yang begitu menikmati hidup mewah,
Memikirkan parfum mana yang akan mereka beli.
Ketika anak-anak jalanan ini memikirkan,
Dimana mereka akan tidur saat langit mulai gelap...

Di satu sudut,
Ada anak perempuan kecil yang sedang menangis.
Tangisannya begitu tersedu, dan entah mengapa terdengar memilukan.

"Aku ingin hidup seperti anak-anak lain..."
Bisiknya perlahan.

"Aku ingin belajar, bukan menjual koran...
Aku ingin bermain, bukan berlari sana-sini dengan kaki telanjang untuk mencari sesuap nasi..."

Aku memeluk gadis kecil itu, dan ikut menitikkan airmata.
Lalu kudengar lagi kalimat yang begitu menyakitkan hatiku, lebih dari apapun.

"Aku ingin menjalani hidup sebagaimana adanya HIDUP.
Bukan memikirkan bagaimana cara bertahan hidup di ibukota..." 



Friday 18 September 2015

18 September 2015

"Cintaku abadi, bukan kata-kata manis yang menyakitkan", begitu katamu.
Kala itu, hanya isak pedih yang mengisi sepi.
Hanya suaramu yang kudengar menggema lembut, berkata:
"Aku mungkin pergi, tapi aku selalu tahu jalan kembali. Karena kamu, adalah tempatku berpulang."
Kenangan itu merayap naik lagi saat hujan menyentuh bumi.
Meresonansi kenangan-kenangan pahit yang tak seharusnya kuingat lagi...
Langit menangis.
Airmatanya berdebam keras memukul bumi.
Namun yang kudengar...
Hanyalah hening yang memilukan.
Berdenging begitu keras, sakitnya hingga ke ulu hati.
Aku ingin bermimpi, namun di mimpiku tak ada kamu...
Aku ingin kamu, namun ragamu tak lagi disini...
Aku ingin kamu.
Berlari menuju kamu dan memelukmu lagi.
Namun hatimu tak lagi untukku...