Sunday 1 November 2015
Cerita Anak Jalanan
Siang itu, matahari bersinar begitu terik.
Seolah tidak peduli siapa yang merasakan panasnya.
Anak-anak jalanan itu menatap langit, seperti ingin berkata:
"Mengapa terikmu harus menambah derita kami?"
Setiap sudut jalan yang kulirik begitu ramai.
Ramai dengan adanya suara pengamen kecil,
Ramai dengan tangan-tangan kecil yang menjajakan koran dan minuman.
Mereka yang sosoknya samar di belakang kaca mobil,
Hanya tega menatap sinis.
Menatap jijik ke arah anak-anak kecil tak berdosa itu.
Mereka mengacungkan jari mereka dari balik kaca mobil, seraya menertawakan anak jalanan.
Padahal, makhluk kecil itu hanya berjuang untuk mendapatkan uang yang tidak seberapa
Untuk makan bersama keluarga mereka malam nanti.
Mereka yang begitu menikmati hidup mewah,
Memikirkan parfum mana yang akan mereka beli.
Ketika anak-anak jalanan ini memikirkan,
Dimana mereka akan tidur saat langit mulai gelap...
Di satu sudut,
Ada anak perempuan kecil yang sedang menangis.
Tangisannya begitu tersedu, dan entah mengapa terdengar memilukan.
"Aku ingin hidup seperti anak-anak lain..."
Bisiknya perlahan.
"Aku ingin belajar, bukan menjual koran...
Aku ingin bermain, bukan berlari sana-sini dengan kaki telanjang untuk mencari sesuap nasi..."
Aku memeluk gadis kecil itu, dan ikut menitikkan airmata.
Lalu kudengar lagi kalimat yang begitu menyakitkan hatiku, lebih dari apapun.
"Aku ingin menjalani hidup sebagaimana adanya HIDUP.
Bukan memikirkan bagaimana cara bertahan hidup di ibukota..."
Friday 18 September 2015
18 September 2015
Kala itu, hanya isak pedih yang mengisi sepi.
Hanya suaramu yang kudengar menggema lembut, berkata:
"Aku mungkin pergi, tapi aku selalu tahu jalan kembali. Karena kamu, adalah tempatku berpulang."
Kenangan itu merayap naik lagi saat hujan menyentuh bumi.
Meresonansi kenangan-kenangan pahit yang tak seharusnya kuingat lagi...
Langit menangis.
Airmatanya berdebam keras memukul bumi.
Namun yang kudengar...
Hanyalah hening yang memilukan.
Berdenging begitu keras, sakitnya hingga ke ulu hati.
Aku ingin bermimpi, namun di mimpiku tak ada kamu...
Aku ingin kamu, namun ragamu tak lagi disini...
Aku ingin kamu.
Berlari menuju kamu dan memelukmu lagi.
Namun hatimu tak lagi untukku...
Pasti Bahagia, Ya?
Tertawa diatas kepedihan yang melanda dan tak kunjung pergi?
Bagaimana rasanya?
Berjalan dengan pasti?
Saat disini, aku berjalan tertatih dengan airmata yang menetes disetiap langkah?
Bagaimana rasanya?
Melupakan aku begitu saja?
Seolah tak ada apa-apa, seolah tak pernah ada perasaan?
Bagaimana rasanya?
Menatapku dengan kebencian saat kamu tahu aku menatapmu dengan rasa?
Pasti bahagia, ya?
Friday 24 July 2015
Senyum
Bulan dengan cantiknya bersinar menyinari malam yang begitu gelap dan kelam.
Bentuknya yang sabit mengikutiku; seolah tersenyum.
Aku menatap bulan penuh bahagia...
Menceritakan semuanya tentang hariku.
-
Bahagia sedang mengunjungiku,
Dan ku harap sang Bahagia tetap singgah di tempat yang sama...
Meskipun jika alasan kunjungan sang Bahagia pergi,
Kuharap ia tetap disana...
...
Ceritaku bersama masa lalu hendak kututup.
Ingin ku kurung dalam sebuah peti, lalu kubuang kuncinya jauh-jauh.
Ku kubur jauh di lubuk hati terdalam,
Dimana tak seorangpun bisa menyentuh bagian yang kusimpan sendiri itu.
Lalu aku akan tersenyum,
Membalikkan badan.
Dan pergi.
Thursday 23 July 2015
P i n t u
Cahaya matahari di kala senja,
Entah bagaimana menyeruak masuk secara kasar melalui celah pintu.
Seberkas cahaya kecil;
Satu-satunya sumber cahaya di ruangan yang gelap dan penuh aura sendu itu...
Di ujung ruangan, perempuan itu terduduk lemas sambil memeluk kakinya...
Hening.
Tetiba, terdengar isak tangis yang begitu memilukan...
Suaranya begitu pelan, namun sangat menyayat hati.
Krieeet...
Entah angin dari mana, seketika pintu itu membuka semakin lebar.
Dan cahaya yang mendesak seolah memaksa dan meminta
Agar perempuan itu menyambut sang Jingga.
Ia menatap sedih cahaya yang merambat perlahan ke arahnya itu.
Pikirannya melayang jauh...
Melayang ke sosok lelaki yang ia cintai selama ini.
"...
Apakah aku harus meninggalkan perasaan ini,
Atau haruskah aku menunggu lebih lama lagi?
Aku ingin pergi,
Namun aku tidak ingin membuka lembaran baru lagi,
Membuka rahasia lagi,
Jatuh cinta lagi,
Dan tersakiti lagi...
Aku ingin lari!
Namun aku takut kamu tertinggal jauh dan terjatuh...
Aku ingin tetap disini,
Mencintaimu diam-diam;
Mengobatimu ketika kamu terluka,
Juga mendoakan kebahagiaanmu.
Namun jika aku tetap disini,
Akulah yang berdarah...
Dan semakin lama aku disini,
Luka itu semakin dalam menghujam di relung hati yang kusimpan demi kamu
..."
Ia melangkah perlahan menuju pintu yang terbuka disana...
Ragu-ragu ingin melangkahkan kakinya.
Selangkah lagi, dan ia keluar.
...
Akhirnya ia melangkah ke belakang pintu,
Dan menutup pintu itu serta menguncinya rapat-rapat.
Membiarkan dirinya tenggelam dalam gelap.
Lalu sebutir air mata menetes lagi,
Dalam sunyi.
Tuesday 14 July 2015
Segalanya Tentang Kamu [100.]
Maafkan aku yang terlalu takut.
Takut menyampaikan perasaanku yang sebenarnya, karena aku takut kamu menutup diri dan pergi.
Maaf, karena aku hanya bisa membuat tulisan payah yang hanya bisa kubaca sendiri; tanpa kamu ketahui.
Jadi, kita mulai dari mana?
Aku begitu mendambamu. Mendamba setiap jengkal dirimu.
Begitu jatuh cinta pada senyummu yang mengembang manis saat kita bertemu.
Begitu jatuh cinta pada suara tawa yang menggema karena kebodohanku.
Begitu terobsesi pada warna matamu yang memikat.
Jatuh cinta pada pesonamu.
Padamu.
Aku rindu.
Rindu suaramu yang bertanya, "Mau nyanyi lagu apa?"
Rindu nyanyianmu yang indah saat kamu tahu aku tidak bisa memejamkan mata.
Aku sangat merindukanmu!
Setiap jengkal nadi
Setiap detak jantung
Setiap air mata yang menitik
Segalanya yang ada pada diriku sangat menuntut untuk segera bertemu!
Terkadang, kamu tahu;
Aku hanya tak sanggup lagi menahannya.
Semua rindu, harapan, tangis dan cinta
Mereka semua melebur jadi satu
Dan pada akhirnya melesak di dada dengan gemuruh asing.
Begitu...
Memaksa, egois.
Dan yang bertemu disana, akhirnya bukan kita.
Namun, air mata dan kerinduan.
Rindu ingin bertemu, yang pada akhirnya tak terpenuhi.
Dan tanpa bisa kuhindari lagi:
Segalanya tentang kamu menjadi gerakan lambat yang merobek hati.
Bahkan aku tidak sampai hati untuk mengakhiri perasaan ini.
Karena aku begitu menikmatinya.
Menikmati menyayangimu dalam hati.
99.
'Sakit...' ucap perempuan itu, lirih.
"Apa yang dia lakukan?"
'Bukan,
Bukan dia yang menyakitiku.
Aku yang menyakiti diriku sendiri dengan menunggunya.
Aku yang memutuskan untuk menunggu,
Meskipun dia tidak menyadari bahwa perasaan ini ada.
Entah perasaan apa.'
"Cinta?"
'Pertemuan kami hanya sekali.
Terlalu singkat untuk di sebut cinta.'
"Kalau begitu... Ketertarikan sementara?"
'Yang aku rasakan lebih dari itu...
Ada rasa kagum, rindu, sedih, bahagia...'
"Bagaimana bisa?"
'Tidak tahu...
Semua terjadi begitu saja, tanpa aba-aba.'
"Kenapa dia?"
'Karena suaranya begitu lembut, tegas, juga menenangkan...
Karena dibalik sosoknya yang cuek dan begitu fokus pada masa depannya,
Dia sangat perhatian.
Karena dia begitu ramah...
Karena dia adalah dia.
Entahlah...'
Isakan tangis itu berubah menjadi tangisan hening yang begitu memilukan...
Tangisan hening yang menggurat begitu banyak rindu,
Begitu banyak memendam perasaan 'ingin bertemu'.
Wednesday 1 July 2015
Puisi Tanpa Inti
Bulan begitu cantik, dengan bintang-bintang yang bersisian.
Sambil menatap langit malam penuh kagum;
Malam ini langit begitu bahagia…
Thursday 25 June 2015
Janji
Rasanya aku tak ingin lagi jatuh cinta.
Karena aku merasa bahwa cinta hanyalah kebohongan saja...
Semuanya sekedar rekayasa yang dibuat sedemikian rupa,
Sampai-sampai manusia lupa bahwa cinta bisa pergi...
Pergi kemanapun, dan pergi kapanpun dia mau.
Cinta membuat mereka, lelaki dan perempuan itu,
Berjanji untuk tetap menunggu...
Tetap berada disana meskipun salah satu dari mereka pergi.
Kenapa janji itu begitu... fana?
Begitu.. menyakitkan?
Sunday 21 June 2015
Kisah tentang Berpisah
Kini beralih menjadi puisi penuh jeritan, dan air mata penuh kesakitan.
Sejak awal mereka tahu,
Bahwa mereka berbeda dan jalan yang mereka tapaki ini tak berujung kemanapun…
Sejak awal mereka tahu,
Bahwa perbedaan mereka itu akan menjadi batu sandungan…
Kini perjuangan mereka sampai di ambang batas kekecewaan.
Lelaki itu mulai berjalan ke arah yang berlainan…
Mulai melepaskan tangan yang tadinya saling bertautan,
Tangan yang tadinya berjanji untuk tetap saling bertahan dan tetap saling memperjuangkan…
Perempuan yang lemah itu, mulai begah dengan kebohongan-kebohongan yang terucap…
Mereka mulai menyerah menyatukan dua dunia mereka, yang sejak awal memang berbeda…
Sang lelaki mulai mencari orang lain, untuk menggantikan si perempuan;
Di dunianya sendiri.
Seperti sandiwara yang sedang di mainkan, ya?
Bedanya,
Mereka menyimpan hal ini hanya untuk mereka berdua.
Oh, dan kepedihan yang tersisa;
Hanya perempuan malang itu yang merasakan.
((p.s: was posted on my another blog, http://sillystupidpoems.wordpress.com. hehe:B no longer using wordpress.))
Friday 20 March 2015
Perempuan dan Puisi
Thursday 26 February 2015
Sepi
Baginya,
Tak ada lagi perbedaan antara sendiri atau berdua.
Atau bertiga.
Karena semuanya hanya merajut sepi dan membuatnya semakin tenggelam dalam sendirinya.
Entah apa yang dia takuti...
Namun sepertinya kesepian sudah menjadi bagian dari dirinya yang tak bisa hilang...
Wednesday 25 February 2015
Bila Jatuh Cinta
Bila jatuh cinta padamu adalah suatu kesalahan...
Izinkan aku mengulanginya.
Lagi, dan lagi.
Bila jatuh cinta padamu adalah suatu kesalahan...
Biarkan aku menikmatinya.
Lagi, dan lagi.
Bila jatuh cinta padamu adalah suatu kesalahan...
Biarkan aku hidup berulang kali, agar aku bisa jatuh cinta padamu.
Lagi, dan lagi.
Bila jatuh cinta padamu adalah suatu kesalahan...
Aku akan tetap memilihmu di kehidupan yang lain.
Lagi, dan lagi.
Sebagaimana cinta itu hadir,
Aku selalu menginginkan kamu.
Dan apabila kita memang tidak di takdirkan satu,
Harus kuakui;
Kamulah kesalahan terindah yang akan selalu ku rindukan.
Melepas dari yang Tak Mengikat
Meskipun tak mudah, aku harus melepas...
Terlalu sakit, jika aku masih harus mempertahankan "kita".
Bila nyatanya senyummu bukan lagi untukku...
Terimakasih.
Kamu telah menjadi debar saat jantungku lupa berdetak.
Kamu telah menjadi tawa saat aku lupa bagaimana cara bahagia.
Mungkin harus ada yang terluka.
Agar masing masing dari kita bisa lepas dari sesuatu yang tak mengikat.
Cinta, misalnya.
Jangan
Jangan mengumbar kalimat cinta,
Jika pada akhirnya yang kamu berikan hanyalah kecewa.
Jangan berbicara seolah-olah aku-lah bagian dari dirimu yang kosong,
Bila akhirnya nanti kamu melangkah pergi.
Jangan perlakukan aku seperti perempuan-mu,
Bila aku bukan satu-satunya.
Jangan membawa asaku terbang bersama buai gombalanmu,
Bila yang kita jalani sekarang tak lebih dari sekedar kefanaan.
Aku memang ingin kamu.
Tapi bukan seperti ini.
Maaf...
Aku hanya tak ingin terluka.
Jangan memberiku mawar yang seakan berbicara tentang bahagia,
Padahal yang ada hanyalah duri tajam yang menggores luka.
Monday 23 February 2015
Untuk Kamu
Untuk kamu,
Lelaki yang (masih) ku cintai.
Aku ini bukan penulis.
Aku hanyalah seorang pencerita.
Seorang pencerita yang mengalami candu;
Candu untuk terus berkata-kata tentang kamu.
Meskipun kebanyakan ceritanya tentang luka, kecewa dan tangis,
Aku tetap ingin bercerita mengenai perihal 'kamu'.
Kamu,
Pernah memberi luka dan menggoreskan trauma.
Kamu,
Pernah mengajarkan ku bagaimana cara mencintai dalam sebuah kecewa.
Kamu,
Pernah membuatku menikmati setiap air mata yang mengalir.
Membuatku begitu terluka, sekaligus bahagia.
Bahagia karena (pada saat itu), aku masih memiliki kamu.
Pun kita kini tak lagi bertegur sapa,
Kamu masih menjadi kalimat utama dalam setiap puisiku.
Kamu masih menjadi yang terpenting dalam hati, dan masih menjadi yang paling ku rindukan setiap hari.
Dengan cinta,
Aku yang (selalu) menunggu.
Wednesday 11 February 2015
Langit Abu-Abu
Kali ini air mataku mengalir deras,
Seolah-olah tahu dimana muaranya.
Dibawah langit abu-abu,
Aku tersedu melihat kamu melangkah jauh.
Aku hanya bisa melihat punggungmu berbalik dan pergi...
Namun aku tak bisa menahanmu,
Karena... Aku siapamu?
Di bawah langit abu-abu,
Tangisku tersaru dengan hujan yang turun.
Isakku teredam berisiknya hujan.
Gelap langit seolah mengerti hatiku...
Di bawah langit abu-abu,
Aku menunggumu.
Meskipun kamu tak kembali.
Meskipun aku harus tetap disini.
Bukan Cinta
Kali ini untuk seseorang yang lain.
Namun rasanya begitu menyakitkan...
Padahal aku tahu,
Selamanya, aku dan dia tak bisa bersama...
Padahal aku tahu,
Kedekatan kami hanya sementara...
Padahal aku tahu,
Dia datang sebentar
Untuk pergi selamanya...
Namun mengapa perih...?
Tulisan lagi yang mewakili perasaanku...
Bukan.
Ini bukan cinta.
Ini hanyalah perasaan ingin memiliki yang egois;
Sementara dia telah bersamanya,
Dan aku dengan tangis yang menggema.
Ini bukan cinta...
Iya kan?
Monday 9 February 2015
Seharusnya (Hanya)
Kita?
Saturday 10 January 2015
Abu-abu
Anehnya,
Kita masih sama-sama memperjuangkan hal yang kita tahu takkan berhasil.
Kita masih sama-sama berusaha menapaki jalan yang menyakitkan,
Padahal kita tahu;
Kita akan berujung pada akhir cerita yang sama.
Anehnya,
Seberapa kuatpun ku tekan perasaan ini,
Perasaan ini semakin tak ingin pergi...
Semakin ku dorong kamu menjauh,
Semakin sering kamu muncul dan menyapa dengan senyum...
Kemana cerita ini akan membawa kita?
Kisah ini seolah tak berujung,
Dan sejak awal pertemuan kita
Jawabannya selalu abu-abu...
Tuesday 6 January 2015
"Ingin Berhenti"
Dengan lesu, ia mengangkat kepalanya.
Duduk di atas keterpurukannya;
Menyesali segala hal yang berada di belakangnya.
Menyesali setiap detik yang berlalu dengan sia-sia.
Menyesali langkah yang dia ambil.
Menyesali perbuatan-perbuatannya.
Menyesali perkataannya.
Dia ingin berhenti!
Namun saat dia berhenti...
Akankah dia berhenti merasakan apa-apa lagi?
Dia ingin berhenti mencari...
Ingin sejenak memejamkan mata.
Ingin kabur sedetik saja dari kekacauan yang ia buat.
Dia lelah dengan berisik;
Dia lelah dengan diam.
Dengan sedikit asa yang masih ada,
Dia berdiri, berjalan.
Tertatih.
Dengan segala pertanyaan yang masih tak mampu dijawabnya.
Tanpa ada seorangpun yang peduli.