Wednesday 16 April 2014

Tokoh Utama

Darah yang bergejolak seakan menggerakkan tangannya untuk terus menulis.
Helaian rambutnya kian hari kian menipis.
Kakinya tak sanggup lagi untuk bergerak.
Ia lelah.
Ia tak pernah cukup baik untuk siapapun.
Makanya, dia mengasingkan diri dan memilih untuk sendirian.
Dia memasang headphone dan tidak mempedulikan sekitarnya lagi.
Lagu yang diperdengarkan, memenuhi otaknya. Sejalan dengan detak jantungnya.
Mengalir bersama ketakutan di hatinya.
Dia memilih untuk menghentikan tawanya yang hampa dan kosong.
Menghentikan kata-kata yang terucap tanpa nada.
Dia jatuh.

-

Dia, sang tokoh, sering berjalan mengikuti arah matahari.
Namun, dia selalu melangkah ke arah persimpangan.
Persimpangan,
Dimana dia harus memilih.
Saat dia membulatkan tekadnya untuk memilih,
Terkadang dia masuk ke jalan buntu.
Dia mencoba untuk mundur dan berjalan di jalan lainnya.
Karena ia tahu, dia harus tetap berjalan.
Namun terkadang, dia di pertemukan dengan persimpangan lainnya.
Hingga akhirnya, dia tak lagi sanggup berjalan.
Tak sanggup berpijak.
Dan dia jatuh terduduk di antara pilihan.

Tuesday 8 April 2014

Selalu Kamu

Berbagai frasa sudah hinggap di ujung lidahku.
Ingin menyampaikan, namun dia pun takkan peduli.
Ingin mengucap, namun dia takkan menoleh sedikitpun.
Pun tidak melirik.
Merana, kaki ini terus melangkah.
Nanar, kosong dan hampa, jiwa ini terus mencari.
Jiwa yang tak lagi berdiri bersamaku, disini.
Berapa lembar lagi yang harus ku tulis?
Segalanya itu tentang kamu!
Selalu kamu.
Bukan orang lain.
Saat matahari bersinar, awan kelabu menjelma. Cerita itu selalu ada, dan segalanya selalu tentang kamu.
Terjebak dalam imajiner singkat mengenai aku dan kamu.
Aku, yang melangkah tanpa arah, tanpa tujuan.
Tanpa meninggalkan jejak, bersama angin semilir yang menghapusku.
Tak ada yang peduli, kan?

Wednesday 2 April 2014

Janji.

Coba kamu hitung seberapa sering kamu membaca tulisan fana ini: rindu.
Berbagai euforia aneh dan unik yang tercipta karena sepenggal kata itu.
Kata yang mampu membangkitkan memori yang tertidur lelap di selimuti lumpur haru biru.
Kapan lagi aku bisa menyampaikan rasa rindu ini?
Kamu pun enggak peduli.
Sama sekali gak ambil pusing dengan perasaanku ini.
Tatapan tajam yang menelanjangi ruangan ini bisa kamu rasakan, pasti.
Karena rinduku ini aku sampaikan bukan secara langsung.
Ku sampaikan lewat doa, lewat tatapan.
Yang sama sekali gak kamu ambil pusing.
Yaudah.
Selamat bahagia, ya?
Dengan cintamu yang baru.
Ini terakhir kalinya aku menulis tentang kamu.
Iya, terakhir kali.
Janji.